plashoeve.com – Penganiayaan pemerintahan Indonesia pada demonstrasi yang semakin makin tambah meluas sesudah gempuran pada mahasiswa Papua di tahun 2019 menegaskan diskriminasi rasial yang telah berjalan lama pada orang asli Papua di Indonesia, kata Human Rights Watch pada sebuah laporan yang diedarkan ini hari. Faksi berkuasa seyogianya tangani kedukaan bersejarah, ekonomi, dan politik orang Papua bukannya menghakimi mereka atas dakwaan pemberontakan dan kejahatan yang lain karena jalankan hak dasar mereka untuk bebas berekspresif, berserikat, dan bergabung dengan damai dan melepaskan mereka yang ditahan dengan tidak resmi.
Laporan dengan tebal 80 halaman, ‘”Jika Bukan Rasisme, Mengatakan Apa?”: Diskriminasi dan Pelanggaran pada Orang Asli Papua di Indonesia,”‘ temukan jika demonstrasi itu, yang dibikin hashtag #PapuanLivesMatter, terpusat pada pelanggaran hak asasi manusia pada orang asli Papua, termasuk penyangkalan hak atas kesehatan dan pendidikan, dan ajakan damai untuk kedaulatan untuk Papua Barat, rumah beberapa orang asli Papua. Laporan ini berisi beberapa kasus aktivis Papua yang dijatuhi hukuman karena peranan mereka dalam demonstrasi dan dakwaan tidak berdasarkan yang didakwakan pada mereka.
“Rasisme dan diskriminasi yang dirasakan orang Papua sepanjang beberapa puluh tahun baru memulai mendapatkan perhatian dari faksi berkuasa Indonesia sesudah demonstrasi semakin makin tambah meluas di tahun 2019,” kata Andreas Harsono, periset senior di Human Rights Watch. “Pemerintahan seharusnya tindak lanjuti beragam referensi Federasi Bangsa-Bangsa untuk akhiri pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat dan meluluskan pemantau internasional dan reporter asing untuk berkunjung daerah itu. ”
Di antara bulan Juni 2023 sampai Mei 2024, Human Rights Watch lakukan 49 interviu dalam dengan aktivis Papua yang diamankan dan dituntut sesudah pergerakan Papuan Lives Matter. Disamping itu, Human Rights Watch menginterviu beberapa advokat, akademiki, petinggi, dan pimpinan gereja.
Di tanggal 17 Agustus 2019, sejumlah tentara Indonesia dan segerombolan ultranasionalis serang asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Kutipan rekaman video serangan itu, yang dibarengi ejekan rasial, dibagi dengan luas di sosial media, memacu pergerakan yang disebutkan Papuan Lives Matter, yang di inspirasi oleh protes Black Lives Matter di Amerika Serikat. Demonstrasi pecah di minimal 33 kota di Indonesia. Walaupun demonstrasi beberapa berjalan damai, di sejumlah tempat terjadi benturan antarwarga, pembakaran, serta mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Polisi dan militer Indonesia memakai kekerasan yang terlalu berlebih dan tangkap banyak demonstran, khususnya membidik siapa saja yang mengibarkan bendera Bintang Kejora, lambang kemerdekaan Papua yang dipandang ilegal di Indonesia. Papuans Behind Bars, website yang mengawasi penangkapan dengan motivasi politik di Papua Barat, menulis lebih dari 1.000 penangkapan di tahun 2019, dan 418 penangkapan di antara Oktober 2020 sampai September 2021. Minimal 245 orang dijatuhi hukuman karena beragam dakwaan kejahatan, termasuk 109 orang karena pasal pemberontakan. Di Indonesia, pasal-pasal pemberontakan kerap dipakai untuk mengarah orang asli Papua yang perjuangkan hak-hak mereka, termasuk kemerdekaan.
Human Rights Watch tidak ambil posisi apa pun itu atas ajakan kemerdekaan di Indonesia atau di negara mana saja, tetapi memberikan dukungan hak tiap orang untuk ekspresikan pandangan politik mereka dengan damai, termasuk untuk kemerdekaan, tanpa merasa takut akan diamankan atau hadapi bermacam-macam pembalasan yang lain.
Di bulan Juni 2022, Dewan Perwakilan Masyarakat menetapkan undang-undang polemis, yang memekarkan daerah dua provinsi—Papua dan Papua Barat—menjadi enam propinsi. Berdasar opsi beberapa aktivis Papua, Human Rights Watch memakai nama Papua Barat untuk menyebutkan keseluruhnya daerah itu. Beberapa orang asli Papua yakin jika pembangunan propinsi baru ini akan datangkan semakin banyak masyarakat non-Papua, hingga kurangi pembagian orang asli Papua yang ada di tanah mereka sendiri. Faksi berkuasa Indonesia sudah menggerakkan dan lakukan subsidi beberapa puluh ribu keluarga non-Papua —biasa disebutkan pendatang— untuk berpindah ke Papua Barat lewat program transmigrasi sepanjang beberapa puluh tahun, yang kerap kali menyingkirkan orang asli Papua dan mengambil tanah punya mereka untuk pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
Pemda dan pusat mendiskriminasi orang asli Papua untuk beberapa pendatang dalam pemberian service kesehatan dan pendidikan di Papua Barat, kata Human Rights Watch. Wilayah yang ditempati orang asli Papua punyai semakin sedikit pusat kesehatan warga dan sekolah. Pemerintahan lebih menyenangi pendatang untuk isi tugas di pemerintah, baik sebagai guru, perawat, atau di kepolisian dan militer. Dalam pada itu, orang asli Papua yang ada di wilayah lain di Indonesia hadapi diskriminasi dan rasisme saat mendapat akses ke tugas, pendidikan, atau perumahan.
Agus Sumule, seorang dosen Kampus Papua di Manokwari, yang pimpin riset mengenai pendidikan di Papua Barat, menulis tingkat kedatangan orang asli Papua di sekolah yang lebih rendah di wilayah pegunungan, dan temukan jika tidak ada satu juga perguruan tinggi keguruan di Pegunungan tengah, di mana sebagian besar warganya ialah orang asli Papua. Ia menjelaskan: “Jika bukan rasisme, saya harus mengatakan apa?”
Human Rights Watch temukan jika polisi dan tentara kerap menganiaya dan menyiksa aktivis Papua dengan cacian rasis. Sebuah video yang diupload di awal tahun 2024 di sosial media memperlihatkan tiga tentara memukuli Definus Kogoya, seorang pemuda Papua, yang tangannya diikat ada di belakang dan memasukkan ke drum berisi air, menghinanya dengan cacian rasis.
Kekerasan di antara militan pro-kemerdekaan Papua dan pasukan keamanan Indonesia pemicu memburuknya keadaan hak asasi manusia di Papua Barat. Pasukan keamanan Indonesia terturut dalam penangkapan dan penahanan semena-mena, penganiayaan, pembunuhan di luar proses hukum, dan perpindahan paksakan secara besar, tapi jarang-jarang diminta pertanggungjawaban atas beragam pelanggaran ini. Beberapa militan terturut dalam pembunuhan pendatang dan orang asing, sekarang menahan seorang pilot asal Selandia Baru semenjak Februari 2023.
Saat Presiden Joko Widodo, yang dikenali sebagai “Jokowi,” dipilih sebagai presiden di tahun 2014, beberapa orang yang menyimpan keinginan akan ada reformasi hak asasi manusia di Papua Barat. 10 tahun selanjutnya, diakhir saat kedudukan ke-2 sekalian terakhir kalinya, tidak banyak yang berbeda di Papua. Pemerintah baru, yang dipegang oleh Prabowo Subianto Djojohadikusumo, mulai akan di bulan Oktober 2024. Pemerintahan seharusnya selekasnya mengevaluasi beberapa peraturan yang berjalan di Papua Barat, mengaku dan akhiri sejarah rasisme struktural pemerintahan pada orang asli Papua, dan minta pertanggungjawaban pada mereka yang bertanggungjawab atas pelanggaran hak-hak orang Papua, kata Human Rights Watch.
Indonesia turut terturut dalam kesepakatan hak asasi manusia internasional yang terpenting, termasuk Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Kovenan Internasional mengenai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), dan Pakta Internasional mengenai Penghilangan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD). Semua kesepakatan ini larang diskriminasi berdasar diantaranya rasial, etnis, dan agama. Peraturan dan praktek diskriminatif yang diabadikan Human Rights Watch mencakup pelanggaran hak-hak orang asli Papua atas kesehatan dan pendidikan. Antara standar-standar khusus ialah Maklumat PBB mengenai Hak-Hak Warga Tradisi, yang mengaku hak warga tradisi untuk tentukan nasib sendiri, termasuk otonomi atau pemerintah sendiri dalam soal intern atau lokal mereka.